Rabu, 12 Agustus 2009 di 01.55 | 0 komentar  
Matamu indah... sangat bersinar..tiapku bicara... kudengar suara yang merdu... wajahmu... selalu kuingat di hari hariku... sungguh wajahmu mngingatkanku... pada hewan pliharaanku yang telah tiada.
Diposting oleh risty Label:
Imam sudah datang

Makmum sudah banyak

Kain kafan sudah beli

Kranda sudah siap

Kuburan sudah digali..

Tapi mayatnya dimana?

Ya ampuun..malah enak-enak maen internet

Sini.. sudah ditngguin juga.
Diposting oleh risty Label:
Ciee.. Dah siap berangkat ni ye..
Kamu tampil beda hari ini, Bro..
Mandi sudah..
Sholat udah...
Tampang dah Ok..
Costum juga sudah pas banget..
Pokoknya style abiz deh..

SO..

Mw dikubur jam berapa CUy..????
Diposting oleh risty Label:
Waktu diliat bikin deg-deg an

saat dipegang jadi makin tegang,

habis dipegang dikocok tambah tegang,

akhirnya keluar..

ah ah puas rasanyaa..

akhirnya gue dapet arisan nehh.....
Diposting oleh risty Label:
Selasa, 11 Agustus 2009 di 23.47 | 0 komentar  
Yanto seorang anak tukang gerobak sayur tidak sengaja membuat gerobak Bapaknya yang penuh dengan sayuran terjungkal dan terbalik. Pada saat itu dia dan bapaknya sedang menyiapkan dagangan sayurnya untuk dijual keliling. Tetangga sebelah rumahnya, Pak Tukiyo mendengar suara ribut itu dan mendongakkan kepalanya dari balik pagar rumahnya, lalu berseru:

"Yanto, nanti saja kamu urus itu. Ayo ke sini saja, ada makanan enak nih!"

"Makasih Pak Yo", jawab Yanto, "tapi sepertinya Ayah bakalan marah nih"

"Sudahlah, makan aja dulu baru kamu bereskan itu, mumpung ada makanan enak. Ayo sini!"

"Baiklah Pak, tapi Yanto yakin Ayah pasti akan marah"

Setelah makan si Yantopun mengucapkan terima kasih kepada Pak Yo. "Perut Yanto rasanya enakan sekarang, tapi Ayah pasti akan marah".

"Becanda kamu", sahut si tetangga tersenyum. "Ngomong-ngomong Ayahmu lagi ada di mana?"

"Di bawah gerobak sayur"

"Ha ha ha...", Pak Tukiyo tertawa terbahak-bahak.
Diposting oleh risty Label:
Cerpen : Saiful BahriMinggu Terakhir Pada sangkaku, Minggu akhir Desember hampir tiga tahun yang lalu itu adalah Minggu Terakhir bagiku. Aku yang rebah, lalu terguling-guling di bumi berguncang-berguncang, lalu pitam, takut, kecut dan gemetar, hingga dalam sempurna gamang tiada daya, semestaku tergulung-gulung, tersaruk-saruk, terseret-seret, terhimpit-himpit, luluh-lantak dalam gelora membara air hitam kental hangat yang datang dari laut belakang kampungku, hingga seketika aku bersangka-sangka : ini dia Minggu Terakhir! Ternyata itu belum berakhir. Itu bukan Minggu Terakhir. Masih ada dan kulalui lagi minggu-minggu yang lain, yang belum juga berakhir-akhir. Juga hari ini, di saat orang-orang hiruk-pikuk berbenah menyambut Minggu Terakhir, aku kembali terkesiap, tergagap dan tergugup dalam lingkar trauma yang belum pupus. Dingin sekujur tubuhku ketika seorang bocah, kawan kecilku sesama pengemis membisikkan dengan suara yang sangat lirih, “Hari inilah Minggu terakhir!”. Bagai gila, aku berteriak keras sekali. Tetapi sepertinya teriakanku tak bersuara lagi. Yang terdengar hanya desis-desis tak berarti. Teriakanku menghambur percuma. Agaknya desis-desis itu hanya meruak jadi desas-desus pembenaran bahwa benar ini hari Minggu Terakhir. *** Siang sungguh terik membakar persimpangan segala simpang, ketika aku, seorang kakek pengemis tua, menebar senyum renyah pada semua manusia. Tak lagi terucap kata menghiba dan punah pula uluran tangan meminta-minta pada diriku. Kutegur dan kusapa orang-orang dengan bahasa-bahasa yang sangat manusia. Kuberi segala senyum yang kupunya, agar semua orang ikut berbahagia, sebagaimana bahagianya diriku pada siang terik ini. Aku mau membagi kembali semua belas kasih -- baik yang tulus atau yang terpaksa -- yang telah pernah kuterima dari semua manusia, dengan suatu akhir yang indah. Ya, akhir yang indah. Seindah makan enak dan tidur nyenyak. Seindah janji-janji kala bersemi cinta pada pandangan pertama, yang terbuai-buai, teralun-alun, hingga hinggap di mimpi-mimpi di malam-malam sunyi. Akhir yang indah, seperti akhir kisah-kisah Abu Nawas dan cerita 1001 malam. Sungguh, aku, pengemis tua, kali ini ingin sesuatu yang unik, yang terbalik. Maka, semakin manusialah senyum-senyuman yang kuterbarkan. Tetapi sepertinya alam tak sepaham lagi denganku. Cuaca terik mendadak mendung. Dari segala ufuk awan hitam bergulung-gulung mengepung dan menggelantung rendah-rendah di langit-langit kampung, langit-langit kota, langit-langit persimpangan segala simpangku. Hembusan angin panas menderu-deru dan berpusing-pusing cepat sekali, menyeruak jalan-jalan protokol, menyisir lorong-lorong sempit, menerbangkan debu-debu dan bau-bau. Hidup jadi begitu sesak. Amarah-amarah memuncak. Gairah-gairah memuak. Tipu-tipu merebak-rebak. Melesat dan bergulir-gulir begitu cepatnya segala wacana, rencana, format, tata laksana tentang kebenaran, kesucian, kesejahteraan, kemakmuran, gratis biaya pendidikan, gratis biaya kesehatan, puja-puji segala sakral, caci-maki segala sakral! Semua bergolak, semua mencoba mencuat-cuat. Aku hanya termangu-mangu. Pilu. Kesal, terlalu sering kena tipu. *** “Apa benar ini Minggu Terakhir?” tanyaku pada Kapitan Pattimura, yang gambarnya tertera pada lembaran uang seribuan yang dilempar kemukaku oleh seorang cukong di simpang itu. Lusuh sekali uang itu, selusuh wajah kotaku yang tak pernah lagi cantik. Kotaku berwajah tua, berselaputkan debu dan jelaga asap kenderaan. Kotaku lelah, selelah diriku meyakini konon katanya ini hari Minggu Terakhir. Kulelapkan lagi diriku untuk kesekian kalinya dalam alunan debu, nyanyian usang deru kenderaan, kelap-kelip lampu merah-kuning-hijau pacak-pacak persimpangan, sambil kutebarkan kembali berlaksa-laksa senyum pada semesta. Lalu, malu-malu kumaknai diri bahwa aku, pengemis tua, juga punya pusaka trauma yang hingga minggu ini masih melilit dan mencucuk-cucuk benakku tentang tragis Minggu kemarin, hampir tiga tahun yang lalu. Begitu sempurnanya Minggu hampir tiga tahun yang lalu itu, sesempurna kepergian anak-anak dan istriku, sesempurna jerit terakhir cucu-cucu manisku… Banda Aceh, 7 September 2007
Populerkan, simpan atau kirim cerpen ini
Diposting oleh risty Label:
Senin, 10 Agustus 2009 di 01.08 | 0 komentar  

Teka-teki Binatang

01. Bebek apa yg jalannya selalu muter ke kiri terus?
Bebek dikunci stang

02. Kenapa Bebek goreng enak rasanya?
Karena ada huruf ‘B’ nya, coba kalo nggak ada, berani makan?

03. Ada bebek 10 di kali 2 jadi berapa?
8, soalnya yg 2 lagi maen di kali, kan?

04. Hewan apa yg bersaudara?
Katak beradik

Diposting oleh risty Label:
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Diposting oleh risty Label: